Yayasan Skala Indonesia dan Tim Ekspedisi Palu-Koro Siap Ungkap Potensi Gempa Di Balik Patahan Bumi Di Sulawesi Tengah

Yayasan Skala Indonesia bersama Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) dan Aksi Cepat Tanggap (ACT) menggelar ekspedisi di wilayah Palu-Koro, Sulawesi Tengah, untuk mengungkap potensi gempa dan memetakan upaya pengurangan risiko bencana.
Indonesia dengan 17.500 pulau, memiliki tiga lempeng tektonik yang bersinggungan. Persinggungan beberapa lempeng ini menghasilkan 295 titik sesar atau patahan bumi aktif yang kemudian memicu gempa, mengaktifkan gunung berapi bahkan menimbulkan tsunami. Ini adalah ancaman besar yang mengintai berbagai wilayah Indonesia.

“Bukan hanya gempa bumi saja yang dihasilkan oleh sebuah sesar, tetapi jika gempa terjadi di laut, maka akan menimbulkan tsunami sebagaimana yang sudah terjadi di beberapa tempat dalam sejarah Indonesia,” kata Ketua Ekspedisi Palu-Koro, Trinirmalaningrum di Kantor BNPB, Jakarta Timur, Jumat (27/7/2018).

Di balik kerawanan itu ada keindahan, keunikan dan kekayaan alam, serta kebudayaan yang hidup di atas sesar. Keberadaan sesar juga menyimpan potensi energi dan sumber mineral yang bisa menjadi kekuatan ekonomi dan sosial.

“Ekspedisi juga bertujuan untuk mengedukasi masyarakat dan semua pihak yang berkepentingan tentang kawasan rawan bencana, yaitu dengan cara mengekspose keindahan, keunikan dan kekayaan alam serta kebudayaan yang hidup di atas kawasan rawan bencana itu,” tuturnya.

Hasil dari ekspedisi tersebut nantinya akan didokumentasikan dan disosialisasikan kepada masyarakat untuk menanggulangi resiko bencana. “Melalui Ekspedisi Palu-Koro hasilnya akan berbentuk beberapa penerbitan buku dan seri dokumenter yang akan ditayangkan di televisi swasta,” terangnya.

Tim ekspedisi Palu-Koro akan berangkat pada 30 Juli dan dua hari kemudian mereka mulai menyusuri wilayah Kulawi dan sepanjang jalur sesar di Sulawesi Tengah.

“Wilayah itu antara lain adalah Poso hingga tiga lembah yang ada ribuan artefak dari jaman megalitik. Titik ekspedisi juga termasuk wilayah konservasi alam, seperti danau Lore Lindu dan beberapa pulau Lingayan dan Togean,” tuturnya.

Ekspedisi itu sendiri melibatkan sejumlah peneliti dan pakar bidang kebudayaan, antropologi, sosiologi, sejarah, geologi, gempa, dan manajemen bencana yang mewakili berbagai institusi pemerintah, lembaga riset nasional dan perguruan tinggi juga media. (sal)

Leave a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*
*