Rabu, 24 Agustus 2022, disasterchannel.co dengan dukungan A-PADM Indonesia menggelar diskusi mengenai Strategi Advokasi dan Kampanye Berbasis Data untuk Pengurangan Risiko Bencana. Acara ini diselenggarakan dengan mekanisme hybrid, bertempat di Hotel Swiss Bell, Pondok Indah, Jakarta dan juga online melalui zoom.
Rangkaian diskusi sharing knowledge kali ini menghadirkan beberapa narasumber ahli di antaranya Meiky Sofyansah, direktur TEMPO dan Dahniar Andriani, Direktur Eksekutif HUMA (2014-2020) dimoderatori oleh Lien Sururoh, content writer disasterchannel.co. berbagai kalangan mulai dari mahasiswa, ahli di bidang kebencanaan dan masyarakat umum turut menjadi peserta dalam diskusi kali ini.
Diskusi ini dibuka dengan pengantar dari Trinirmalaningrum, Direktur SKALA Indonesia sekaligus pemimpin redaksi disasterchannel.co. Wanita yang kerap disapa Rini memulai peparannya dengan melayangkan pertanyaan, advokasi untuk pengurangan risiko bencana, mungkinkah?. Dari pertanyaan ini kemudian iya memaparkan bahwa sepanjang tahun 2021 Kementerian Keuangan mencatat setiap tahunnya Indonesia mengalami kerugian senilai Rp 22,8 triliun, karena bencana. Dalam 10 tahun terakhir jumlah korban jiwa akibat bencana mencapai 1.183 orang. Dengan kerugian yang dialami setiap tahun terus bertambah, jumlah kejadian bencana terus bertambah, investasi dalam pengurangan risiko bencana juga cukup besar, hasil-hasil riset menunjukan bahwa penguatan di tingkat masyarakat menjadi kunci kesiapsiagaan. Ini semua perlu untuk diadvokasi untuk menciptakan tindakan pengurangan risiko bencana yang tepat.
Meiky Sofyansah memulai paparannya dengan sebuah persepsi mengenai bencana. Kevin Blanchard, DRR Policy and Program Specialist King’s College London dalam workshop UNDRR untuk jurnalis dari Amerika dan Karibia pada Oktober 2021 menyebut bahwa “A Hazard does not have to turn into a disaster. The decisions that we take as humans are what turn a hazard into a disaster.”
Persepsi ini mendeskripsikan bahwa bencana adalah sesuatu yang bisa dihindari. Bahaya tidak akan menjadi bencana jika kita bisa menghindarinya. Mitigasi dilakukan untuk mengurangi risiko, dengan kata lain untuk menghindari bencana itu terjadi.
Media bekerja dengan memulai mencari dan mengumpulkan fakta dan diproses menjadi cerita. Data menjadi referensi awal mula advokasi untuk pengurangan risiko bencana. Media juga berperan besar dalam memberikan pemahaman mengenai bencana dan risiko. Media dapat membangun persepsi bahwa bahaya harus dibicarakan sampai di ranah publik luas sebelum ada peristiwa bencana. Hal ini dilakukan untuk membuat kita siap dan bisa menghindari risiko sebanyak-banyaknya.
Sayangnya sering kali media diposisikan hanya menjadi corong informasi kejadian.
“Media tidak ditempatkan untuk menjadi sebuah kesatuan untuk kolaborasi dengan membangun konektivitas dimana media menjadi subjek dalam penanggulangan bencana, kolaborasi dibangun dan harus pelihara.” kata Meiky.
Diskusi dilanjutkan dengan paparan dari Dahniar, ia menyoroti bahwa persoalan lingkungan menjadi pangkal bencana dapat terjadi dan sekaligus dapat menjadi suatu titik mula melakukan advokasi.
“Perbuatan manusia menjadi kontribusi besar yang berakibat bencana di negeri ini, itu bisa diminimalisir. Dan kita, mau tidak mau advokasi terkait kebencanaan, advokasi kebencanaan tidak harus melulu mengenai tanggap darurat., tetapi bisa dimulai dari adaptasi dan mitigasi.” Tegas Dahniar.
Semangat advokasi untuk pengurangan risiko bencana sangat besar, terlihat dari antusiasme peserta yang tidak ada hentinya bertanya. Kemudian di akhir acara, Lien menyampaikan beberapa kesimpulan diskusi di antaranya:
Agar dapat melakukan advokasi dalam penanggulangan bencana, maka kita semua harus menggalang aliansi dengan menggandeng media arus utama untuk dapat mengantarkan kita lebih dekat dengan upaya advokasi merubah kebijakan ke arah yang lebih baik
Advokasi harus dilakukan tidak hanya saat tanggap darurat. Advokasi harus mulai dari adaptasi dan mitigasi. Komponen besar (Pemerintah, Masyarakat dan Private Sector) masih berjalan sendiri. Tujuan advokasi harus disepakati bersama, tujuan ini tidak akan bisa tercapai bila pemangku kebijakan tidak memiliki perspektif yang sama mengenai bencana. Dari segi perundang-undangan belum direvisi yang memberikan ruang bagi pembangunan di daerah rawan bencana.
Advokasi merupakan sebuah seni gerakan perubahan yang dilakukan secara bersama untuk mempengaruhi orang banyak, semua sektor harus didorong untuk membicarakannya kemudian melakukan advokasi secara kolektif untuk mencapai perubahan yang besar. (LS)