Skalaindonesia.org – Aceh Tengah begitu terkenal dengan kopi Gayo dan juga keindahan Danau Lut Tawar yang begitu menawan hadir di antara gugusan perbukitan. Bila mengunjungi Aceh Tengah rasanya mata begitu dimanjakan dengan keindahan yang begitu menghipnotis semua pasang mata sehingga enggan untuk pulang.
Terlalu sempit jika memandang keindahan Aceh Tengah hanya dari Danau Lut Tawar saja. Dari Kota Takengon, kita dapat terus menerus menikmati keindahan bila berjalan menuju daerah Kec. Ketol. Hamparan kebun kopi dihiasi kanut tipis dengan taburan kehangatan Mentari pagi yang masih malu-malu muncul dari balik bukit menjadi sebuah kesatuan yang tiada tandingan. Pemandangan ini dapat kita saksikan bila menempuh perjalanan menuju Desa Bah, Kecamatan Ketol, Aceh Tengah.
Disasterchannel.co kali ini berkesempatan untuk berbagi dengan warga Desa Bah terkait dengan kebencanaan. Kami menjalankan program “Develop Community Led on Disaster Risk Management”. Program ini merupakan inisiasi Yayasan Skala Indonesia yang didukung oleh PT. Mandala Multifinance Tbk. Desa Bah menjadi tempat program ini dilakukan, sebab desa ini adalah desa yang mengalami dampak cukup parah setelah Desa Serempah, desa tetangganya yang mengalami kerusakan dan kerugian yang begitu massif pada gempa 2 Juni 2013 silam.
Pertama kami melakukan diskusi bersama warga Desa Bah mengenai pengamannya menghadapi bencana. Bapak Subhan selaku bagian dari Rakyat Guna Mufakat (RGM)/ (BPD) menceritakan kronologi kejadian gempa pada tahun 2013 lalu.
“Kami posisi berada di kampung asli Bah (sebelum relokasi), jam 3 sore terjadi gempa. Setelah gempa, sebelah sungai longsor. Lima orang warga meninggal karena tertimbun longsor, ada beberapa yang kecelakaan (luka) dibawa ke RS. Waktu itu jalan-jalan juga ikut rusak karena gempa” kata Subhan.
Mude Sedang, Kepala Desa Bah atau biasa disebut Reje juga menceritakan pengalamannya menghadapi gempa kala itu.
“Setelah gempa bumi, fasilitas infrastruktur masih banyak yang rusak. Kerusakan rumah warga banyak yang roboh, air sungai beberapa jam menghilang karena ada longsoran di hulu sungai” kata Mude.
Setelah gempa terjadi, semua warga panik dan segera menyelamatkan keluarganya. Gempa susulan terus terjadi hingga beberapa hari setelah gempa utama. Sebagian warga Desa Bah mengungsi ke dekat bangunan sekolah.
Kemudian bapak Subhan kembali melanjutkan ceritanya dan berkata “Data orang dari Dandim yang menyatakan bahwa (desa) Bah asli tidak bisa ditempati kembali. Setelah melalui beberapa waktu, pak Reje (kepala desa) memutuskan untuk direlokasi ke lokasi saat ini yang ditempati oleh warga Desa Bah.”
Dengan perjalanan panjang dan tidak mudah, seluruh warga Desa Bah bertahan dan berusaha pulih hingga saat ini. Menghadapi bencana yang begitu besar, ternyata tidak banyak yang membantu meningkatkan kapasitas warga dalam penanggulangan bencana. Sebab warga desa hanya menerima bantuan pangan, bangunan fisik dan juga dukungan psikososial. Kedatangan tim dari Yayasan Skala menjadi yang pertama untuk memfasilitasi warga mengenali ancaman dan meningkatkan kapasitasnya dalam menanggulangi bencana di masa depan.

Setelah berbagi memori kolektif mengenai bencana, warga Desa Bah diajak untuk melakukan pemetaan partisipatif. Peserta Fokus Grup Diskusi (FGD) dibagi menjadi dua kelompok, kelompok pertama memetakan bahaya atau ancaman bencana yang ada, sementara kelompok lainnya memetakan jalur evakuasi.

Pada akhir kegiatan, peserta menyampaikan hasil diskusi dalam pembuatan peta partisipatif. Riuh semangat para peserta begitu tergambar jelas ketika penyampaian hasil diskusi. Mereka begitu menikmati setiap proses diskusi yang dilakukan, bahkan sesekali diwarnai dengan canda tawa.

Cerita panjang Desa Bah bangkit dari bencana gempa yang melandanya sepuluh tahun yang lalu begitu luar biasa. Sebagai salam perpisahan dari pertemuan kali ini, tim melakukan foto bersama seluruh peserta FGD yang hadir. Mereka menantikan kedatangan tim untuk melanjutkan program sekaligus bersilaturahmi kembali ke desa indah ini. (LS)