Gempa besar besar dengan magnitude 6.6 terjadi pada pukul 16.05.41 WIB, episenter terletak di 7,01°LS dan 105,26°BT tepatnya di laut pada jarak 52 km arah Barat Daya Sumur Banten dengan kedalaman 10 km. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan dengan memperhatikan lokasi episenter dan kedalaman hiposentrumnya, gempabumi yang terjadi merupakan jenis gempa bumi dangkal akibat aktivitas subduksi. Hasil analisis mekanisme sumber menunjukkan bahwa gempabumi memiliki mekanisme pergerakan naik (thrust fault).
Karena guncangannya yang sangat besar, menyebabkan beberapa kerusakan dan kerugian di beberapa tempat. Dampak gempa terjadi di 48 kecamatan, 166 desa atau kelurahan. Daerah yang terdampak parah di antaranya adalah di Kecamatan Sumur, Cikeusik, Cimanggu di Kabupaten Pandeglang dan Lebak.
Berdasarkan data terkini yang dilaporkan, terdapat sebanyak 3.078 rumah rusak, dengan rincian 395 unit rusak berat, 692 unit rusak sedang, dan 1.991 unit rusak ringan. Gempa ini juga menyebabkan 51 unit gedung sekolah, 17 unit fasilitas kesehatan (faskes), 8 unit kantor pemerintahan, 3 unit tempat usaha, dan 21 tempat ibadah juga mengalami kerusakan. Akibat bencana yang terjadi, Bupati Pandeglang menetapkan status tanggap darurat selama 14 hari, terhitung sejak tanggal 14 hingga 27 Januari 2022.
Peristiwa bencana acapkali memunculkan berbagai macam persoalan, mulai dari masalah ekonomi, kesejahteraan sosial hingga kekerasan berbasis gender. Gender membentuk kerentanan dan ketahanan terhadap bencana dengan cara yang beragam dan kompleks.
Mengacu kepada tujuan dari Sendai framework yaitu Prevent new and reduce existing disaster risk through the implementation of integrated and inclusive economic, structural, legal, social, health, cultural, educational, environmental, technological, political and institutional measures that prevent and reduce hazard exposure and vulnerability to disaster, increase preparedness for response and recovery, and thus strengthen resilience. Sejalan dengan tujuan yang diamanatkan pada Sendai framework, maka dirasa penting untuk mengurangi risiko bencana dengan meningkatkan kapasitas para masyarakat.
SDGs ke 13.3 yang bernyunyi “Meningkatkan pendidikan, penumbuhan kesadaran, serta kapasitas manusia dan kelembagaan terkait mitigasi, adaptasi, pengurangan dampak dan peringatan dini perubahan iklim”.
Salah satu tema dalam GPDRR ialah “leave no one behind” berinvestasi di lokal dan memberdayakan yang paling berisiko. Untuk dapat mewujudkan tema leave no one behind maka kita perlu mentransfer ilmu dan pengetahuan mengenai ancaman dan juga kesiapsiagaan menghadapi bencana di wilayah tersebut. Membangun ketahanan kelompok rentan membutuhkan berbagai sektor untuk mengatasi peristiwa bencana. Peran keterlibatan masyarakat lokal dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan tingkat lokal/desa, keterlibatan perempuan dan perwakilan gender lainnya diperlukan untuk menghasilkan solusi bersama dalam pembangunan setelah terjadi bencana. Dalam proses rekonstruksi setelah bencana, ada peluang untuk ‘membangun kembali dengan lebih baik’, memastikan PRB, ketahanan, dan masukan masyarakat yang dirancang sebagai pembangunan kembali.
Konteks budaya dan sosial dari suatu bencana menjadi penting, dan situasi pasca bencana dapat menyebabkan perubahan yang cepat dalam hal sosial dan material. Jaringan sosial sangat penting untuk strategi mata pencaharian mereka, serta kesehatan mental dan ketahanan mereka. Mengurangi isolasi adalah kunci untuk membuka kekuatan yang dapat ditemukan dalam tindakan kolektif. Temuan Tan-Mullins et al, menunjukkan bahwa manajemen yang buruk dari bantuan material yang sangat dibutuhkan, terkadang tak terhindarkan dapat merusak kohesi komunitas dan tatanan sosial komunitas ini dalam jangka panjang dengan mengikis kepercayaan di komunitas ini. Strategi pembangunan ketahanan dalam konteks pascabencana harus dibuat dengan mengacu pada konteks sosial ekonomi lokal tertentu jika ingin berkelanjutan, efektif dan dipahami dengan baik. Strategi pembangunan ketahanan jarang linier dan sering kali bergantung pada konteks.
Penelitian Yayasan Skala Indonesia (2020) mengemukakan bahwa perencanaan pembangunan yang tidak melibatkan perwakilan gender menimbulkan berbagai permasalahan gender. Kebutuhan yang berbeda dari setiap gender membuat fasilitas yang dibangun juga harus disesuaikan untuk mengurangi kerentanan. Perempuan dapat menjadi salah satu potensi dalam pengurangan risiko bencana bila potensinya diakui dan dilibatkan dalam pengambilan keputusan dan juga implementasi program penanggulangan bencana.
Pendekatan partisipatif dan bottom-up yang dipimpin oleh masyarakat yang terkena dampak sangat menjanjikan bahwa proses pemulihan pasca bencana akan lebih mampu memenuhi kebutuhan mereka. Pemberdayaan perempuan dalam konteks pascabencana diperlukan mengingat bencana mengekspos dan memperburuk eksklusi sosial yang ada dalam masyarakat. Peluang untuk dialog dan komunikasi dapat memberikan ruang bagi komunitas, perempuan dan kelompok gender lainnya untuk terhubung dan mendorong orang-orang di sekitar mereka, serta membangun modal sosial. Dari situ, komunitas dapat membangun hubungan mereka dengan orang lain dan menemukan tujuan bersama. Pengetahuan, agensi, dan aksi kolektif perempuan harus sepenuhnya diakui dan didukung untuk membangun ketahanan, mengurangi risiko bencana, dan berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan.
Oleh Karenanya, Yayasan Skala Indonesiabersama kedutaan besar Selandia Baru di Jakarta menggagas program Community Lead on Disaster Management sebagai salah satu cara untuk meningkatkan kapasitas warga yang berada di daerah paling berisiko untuk dapat mengelola secara mandiri risiko bencana yang ada di daerahnya.
Kegiatan ini bertujuan untuk mempromosikan dan mengedukasi kepemimpinan lokal berbasis gender yang sensitif dan inklusif untuk pengurangan risiko bencana, meningkatkan kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana berbasis kapasitas local, meningkatkan kapasitas masyarakat dalam mengelola risiko yang dipimpin oleh masyarakat itu sendiri, membangun praktik kesiapsiagaan bencana yang inklusif dan mengarusutamakan gender dan kelompok rentan, membuka kerjasama antar lembaga di tingkat desa, membuka akses dana desa dan sumber lain termasuk sumber daya local, peningkatan peran perempuan dalam upaya pengurangan risiko bencana di 4 desa, Kecamatan Sumur.
Adapun output kegiatan ini adalah adanya kajian Risiko Bencana Berbasis Desa, rencana Penanggulangan Bencana Berbasis Desa, dan rencana Kontinjensi Gempa Bumi Berbasis Desa dengan capaian indikator hasil yaitu kelompok gender dapat memahami bencana dan pengelolaan risiko bencana dengan menyelenggarakan kegiatan penanggulangan bencana yang melibatkan perempuan secara aktif dalam setiap prosesnya, pembentukan Kelompok Siaga Bencana Desa, ada lumbung penduduk yang dapat dikelola dalam keadaaan darurat, adanya jejaring dengan institusi di sekitar desa untuk pengurangan risiko bencana. (DM)