Begitu banyak bencana yang telah dilalui negeri ini, semua tersimpan dalam memori yang dituangkan dalam berbagai media. Hampir sebagian dari kita selalu menganggap sepele asal usul nama tempat, peraturan dan sanksi adat, serta cerita rakyat. Tapi, tahukah kamu, ini semua adalah warisan yang amat sangat berharga dari para leluhur kita. Yaaa, semua ini adalah pengetahuan, pengetahuan mengenai bencana dan sangat berharga.
Warisan pengetahuan lokal mengenai bencana di Indonesia sangat banyak dan spesifik per daerah. Oleh karenanya, pengetahuan ini dapat dijadikan strategi mitigasi bencana yang cocok. Pernyataan ini dikemukakan oleh Lien Sururoh dalam Ignite State Global Platform for Disaster Risk Reduction 2022 di Bali, Indonesia (26/05/2022).
Lien adalah peneliti di Yayasan Skala Indonesia sekaligus content writer website ini (disasterchannel.co), ia tampil bersama Santi Ariska, divisi Pengembangan Masyarakat di Yayasan Skala Indonesia sekaligus media sosial spesialis disasterchannel.co.
Taman Jepun, Bali Nusa Dua Convention Center menjadi saksi lantangnya kedua perempuan ini menyuarakan pengetahuan lokal mengenai bencana. Hujan pada siang hari itu seolah menjadi bentuk dukungan bumi terhadap apa yang mereka suarakan.
Lien memulai ceritanya mengenai pengetahuan lokal di Sulawesi Tengah dengan mendeskripsikan kejadian gempa, tsunami dan likuifaksi yang terjadi 28 September 2018. Begitu banyak kerusakan, kerugian dan ribuan orang harus menghembuskan nafas terakhirnya, sebab kita semua tidak mampu merespon ancaman bencana yang ada. Kejadian ini membuat kita banyak belajar, mengubah pikiran kita dan melakukan pengurangan risiko bencana.
Salah satu upaya pengurangan risiko bencana adalah dengan mendokumentasikan pengetahuan lokal dan ingatan kolektif masyarakat mengenai bencana. sudah beberapa tahun ini, Yayasan Skala dan disasterchanel.co berkolaborasi dengan penduduk lokal untuk memperluas pengetahuan mengenai bencana di tingkat lokal. Banyak sekali ditemukan pengetahuan lokal mengenai bencana dalam berbagai bentuk dan media. Salah satu contohnya adalah pengetahuan mengenai bahaya yang terefleksi oleh nama tempat.
Terdapat salah satu desa di pantai barat Donggala bernama Tompe. Desa Tompe adalah daerah yang dekat dengan episenter gempa, nama Tompe sendiri berarti terhempas. Nama itu seolah menjadi kenyataan ketika gempa 2018 terjadi, daerah ini benar-benar terhempas oleh tsunami. Selain itu, ada pula nama tempat Tagari Londjo, sekarang dikenal dengan nama Balaroa. Londjo sendiri dapat diartikan sebagai tenggelam dalam lumpur. Sesaat setelah gempa terjadi, area Balaroa mengalami likuifaksi besar-besaran.
Terakhir, dengan raut kecewa lien berkata:
“From all the local knowledge found, it turns out that there is a lot that has the potential to be developed into DRR. Unfortunately, knowledge about hazards, represented in the names of places, has not been taken into consideration for development plans”.
“Dari semua pengetahuan lokal yang ditemukan, ternyata banyak sekali yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi PRB. Sayangnya, pengetahuan mengenai bahaya, yang diwakili dalam nama tempat belum dipertimbangkan untuk rencana pembangunan”.
Selanjutnya, Santi menceritakan pengetahuan lokal mengenai bencana di Banten. Santi menyebut bahwa orang Baduy memiliki pengetahuan lokal mengenai sesar aktif melalui cerita “Urat Gunung Kendeng”. Ceritanya menceritakan bahwa pulau Jawa seperti tubuh manusia yang memiliki kepala, paru-paru dan kaki. Kepalanya ada di Gunung Honje, Ujung Kulon. Paru-parunya berada di Pegunungan Kendeng, dan kakinya memanjang hingga ke Madura dan Bali. Badan ini diikat dengan urat atau urat sebagai “tali penghubung”. Ketika sesuatu terjadi di satu bagian, itu akan mempengaruhi bagian lain. Lempeng tektonik bergerak ke sini, tsunami di sana, semuanya terhubung.
Masyarakat Baduy juga memiliki upaya kesiapsiagaannya sendiri. Mereka memiliki tas siaga bencana dengan versinya sendiri dan selalu membawa tiga serangkai dalam setiap perjalanannya, yaitu garam, asam dan nasi aking. Garam digunakan sebagai desinfektan, asam sebagai sumber vitamin C, dan nasi dapat dimakan dalam keadaan darurat.
Bagi masyarakat Baduy menjaga sumber daya alam adalah prinsip hidup yang mendasar. Misalnya pepatah, “Gunung ulah dilebur, lebak ulah diruksak” yang secara kasar diterjemahkan tidak merusak bukit, agar masyarakat tidak sembarangan memanfaatkan lahan untuk pertanian dan perumahan.
Kemudian, kami menemukan tradisi untuk mengingat tsunami yang melanda Wilayah Labuan, Banten. Pada tahun 1883, terjadi tsunami di Banten, akibat aktivitas Gunung Krakatau. Sekitar (lambat) 36.000 orang meninggal dunia. Peristiwa ini terus dikenang dan dilestarikan dalam bentuk Haul Kalembak. ‘Haul’ adalah kegiatan memperingati 100 hari meninggalnya seseorang, sedangkan ‘Kalembak’ dari asal kata kalempu ombak berarti dilempar atau diseret ombak besar. Dapat diartikan bahwa Haul Kalembak adalah pengetahuan lokal untuk mengingat tsunami.
Diakhir kesimpulannya, dengan tegas Santi berkata:
“Some Local community knowledge has just become a curious folk tale. It has not been given the value it deserves. Its effectiveness for DRR has not been recognized to its maximum potential”.
“Beberapa pengetahuan masyarakat lokal baru saja menjadi cerita rakyat yang penasaran. Belum diberi nilai yang layak. Efektivitasnya untuk PRB belum diakui secara maksimal potensinya”.
Padahal pendokumentasian pengetahuan lokal mengenai bencana sangat penting untuk memperkaya literasi bencana dan itu patut untuk diperjuangkan. (LS)